SURABAYA - Mejelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia membentuk tim kajian tentang sistem pemilu proporsional daftar terbuka dan sistem Pemilu proporsional daftar tertutup. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) menjadi salah satu dari perguruan tinggi yang ditunjuk untuk memberikan rekomendasi hasil kajian akademis tentang penyelenggaraan sistem Pemilu di Indonesia.
Diskusi tentang polemik sistem proporsional daftar terbuka dan proporsional daftar tertutup sebelumnya telah dilakukan kajian oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) melalui forum seminar bertajuk “menimbang sistem proporsional terbuka dan proporsioan tertututp” yang menghadirkan Anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Dr. Idham Holik, S.E., M.Kom, Kamis, (30/03/2023).
Kemudian Rabu, 05 April 2023, tim ahli yang dipercaya mengkaji sistem pemilu di Indonesia megadakan diskusi khusus serta kajian secara mendalam di Laboratorium Politik dan Parlemen FISIP UINSA.
Menurut Noor Rohman, M.A., dalam pengantar diskusi menyampaikan bahwa polemik sistem pemilu hingga saat ini masih berlanjut dan tengah dilakukan sidang gugatan atau judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 telah disidangkan pada 29 Maret 2023. MK juga telah meminta keterangan pihak terkait. Perkara nomor 114/PUU-XX/2022 berkenaan dengan tuntutan pasal 168 ayat (2) undang-undang Nomor 7 tahun 2017 beserta pasal-pasal terkait. Pasal 168 tersebut berkenaan dengan sistem proporsional daftar terbuka yang mengatur surat suara pemilu legislatif yang berisikan logo partai, nomor urut partai, beserta nomor dan nama calon legislatif atau dikenal dengan sebutan sistem pemilihan daftar proporsional terbuka.
Korupsi politik lebih besar dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Terutama bagi petahana (incumben). Disebutkan petahana akan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk merawat konstituen.
Menanggapi pengalaman penyelenggaraan Pemilu di negara lain, Noor Rohman, M.A, megatakan bahwa pengalaman di negara lain tidak bisa serta merta dijadikan acuan, karena penerapan sistem pemilu itu sangat bergantung dan dipengaruhi oleh sistem sosial dan politik di negaranya. Misalnya di Negara-negara skandinavia berhasil memperaktikkan sistem pemilu proporsional tertutup.
Keberhasilan sistem Pemilu di sana karena didorong oleh budaya Partai politik yang sangat programatik (berdasarkan program) dalam mendesign kebijakan serta kondisi masyarakat yang sangat percaya terhadap Pemerintah dan termasuk terhadap partai politik. Sementara di Indonesia, karakter partai politiknya banyak mempraktikkan model kartel, sehingga apabila mengadopsi sistem pemilu proporsional tertutup sangat besar peluang partai politik diisi oleh oligarki. Dengan kata lain, jika dalam sistem pemilu terbuka money politic itu secara terbuka dan detail menyasar pemilih, maka dalam sistem pemilu proporsional tertutup bisa jadi lebih besar menyasar elit partai politik.
Akhirnya, para penstudi Pemilu mengatakan, baik dalam sistem Pemilu proporsional terbuka maupun sistem Pemilu proporsional tertutup juga bisa memicu terjadinya praktik korupsi. Di dalam sistem Pemilu terbuka praktik pkorupsi terjadi karena pertarungan kandidat membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga untuk menutupi biaya tersebut kandidat melakukan praktik ilegal (korupsi). Sebaliknya juga sistem pemilu turtutup memicu praktik ilegal korupsi untuk elit partai politik.
Sebenarnya jika dilihat secara fair bahwa kedua sistem pemilu, baik sistem proporsional daftar terbuka dan proporsional daftar tertutup masih sama-sama dalam satu fream sistem proporsional dalam kajian rumpun sistem pemilu. Sehingga jika terdapat perubahan tidak akan mengubah secara radikal sistem Pemilu di Indonesia. (*)