SURABAYA - Ekonom lingkungan Stefan Giljum et al. mengeluarkan penelitian yang berjudul “A Pantropical Assessment of Deforestation Caused by Industrial Mining.” Disitu disimpulkan bahwa Indonesia menempati posisi pertama dalam melakukan deforestasi untuk keperluan industri pertambangan dalam periode 2000-19.
Di kala bahaya ireversibel krisis iklim makin nyata, tentu ini potret yang amat mengkhawatirkan. Salah satu upaya efektif untuk perlindungan lingkungan adalah melalui penegakkan hukum, oleh karena itu tim redaksi mewawancarai Pakar Hukum Lingkungan UNAIR Wilda Prihatiningtyas SH MH., Rabu (28/9/2022).
Wilda mengatakan bahwa intensifikasi jumlah deforestasi ini salah satunya dipicu oleh reformasi hukum pasca Orde Baru. Diintroduksinya politik hukum desentralisasi membolehkan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengurusi rumah tangganya secara otonom, termasuk dalam perihal pertambangan. Hal ini terefleksikan dalam UU Minerba, serta UU Kehutanan yang membolehkan pemberian izin pertambangan di kawasan hutan sepanjang bukan hutan lindung dan konservasi.
“Problemnya tentu bukan dalam politik hukum desentralisasinya, karena hal tersebut itu aslinya baik. Problemnya adalah penjalanan kewenangan daerah itu hanya berfokus pada kebutuhan ekonomi belaka yakni optimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, mereka abai pada dampak ekologis dan kesejahteraan masyarakat disitu, ” ujar Wilda.
Problem lain yang ditekankan oleh Wilda adalah penegakan hukum yang lemah akibat seabreknya kebijakan yang overlapping, sehingga membingungkan Aparat Penegak Hukum (APH) di lapangan. Hal tersebut diperburuk dengan lemahnya kualitas SDM, minimnya koordinasi antar lembaga karena tingginya faktor ego sektoral.
Potret Pakar Hukum Lingkungan UNAIR Wilda Prihatiningtyas SH MH. (Foto: Istimewa)
Terdapat perubahan lanskap hukum pertambangan dan perlindungan lingkungan pasca didoknya Perubahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Wilda menghaturkan pesimismenya karena kedua legislasi tersebut malah justru memberikan ‘karpet merah’ untuk investor dan korporasi tambang, sehingga mengesampingkan semangat perlindungan lingkungan.
“Salah satu contohnya adalah adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cepat yang dapat mendegradasi esensi KLHS hanya sebatas dokumen administratif belaka untuk proyek pembangunan dan pertambangan. Padahal sejatinya, KLHS itu upaya agar supaya proyek itu sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, ” papar alumni UNAIR itu.
Penelitian Stefan Giljum menuturkan bahwa mensentralkan posisi analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dalam proyek pertambangan dapat menjadi langkah awal untuk menyelesaikan problematika deforestasi ini. Tetapi, Wilda mengatakan bahwa UU Cipta Kerja juga mendegradasi fungsi amdal.
Hal ini mulai dari penyempitan ruang partisipasi masyarakat. Dahulu pemerhati lingkungan memiliki andil dalam partisipasi penyusunan amdal, namun sekarang hanya masyarakat terdampak langsung saja yang dilibatkan. Belum lagi, ruang masyarakat untuk mengajukan keberatan pada produk amdal juga dihapus oleh legislasi ini.
“Kita juga menilik adanya resentralisasi kewenangan penyusunan amdal. Dahulu yang berwenang menyusun adalah Komisi Penilai Amdal, suatu lembaga independen. Namun sekarang, ia dihapus dan diganti oleh Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup (LUKLH). Jajarannya hanyalah dari elemen pemerintah pusat, serta sama sekali tak ada elemen masyarakat. Jadi, lanskap regulasi kita sedang dalam kondisi yang lumayan gawat, ” tutup Wilda.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan